HarDikNas – Semakin Ternoda

“Wajah pendidikan carut marut, menggelitik perut, seperti suara butut burung perkutut, dengan dilapisi bulu butut, pendidikan timbul dan tenggelam, seperti kentut kentut yang dikeluarkan lewat dubur pemerintah, ini lah realitas pendidikan nusantara."

Zaman yang terus berkembang dengan cepatnya, diiringi dengan kecanggihan teknologi yang terus terbarukan, menjadikan semuanya lebih mudah dan praktis, efektif? Bukan teknologi yang efektif atau tidak, tapi bagaimana manusia menggunakan dan memanfaatkan teknologi tersebut.

Perkembangan teknologi nusantara berbanding terbalik dengan potret pendidikan di negeri ini. Semakin majunya zaman, kualitas pendidikan Indonesia tidak mampu menciptakan lulusan-lulusan yang berkualitas. justru hanya menciptakan agen-agen pencari kerja, mental buruh lah yang didapatnya setelah lulus dari institusi pendidikan. Berbondong-bondong para lulusan tersebut sibuk mencari pekerjaan, bukan menciptakan lapangan baru.

Sistem yang selalu disalahkan oleh para pengkritik merupakan penyebab bobroknya pendidikan di Indonesia, tapi sistem seperti apa yang salah diterapkan? dan sistem bagaimana yang harus ada dalam pendidikan ini?

2 mei lalu, masyarakat Indonesia diingatkan dengan hari lahir bapak pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Di hari lahirnya tersebut,  juga turut diperingati dengan Hari Pendidikan Nasional, hari yang istimewa bagi para pelaku pendidikan. Hari Pendidikan biasa diisi dengan refleksi atau berupa cerminan wajah pendidikan nusantara, misalnya saja aksi yang dilakukan sekelompok mahasiswa di kantor Dinas Pendidikan Kota Malang pada Jumat (2/5) lalu, mereka mengkritisi sitem pendidikan saat ini dan menuntut adanya perbaikan.

Dari tahun ke tahun Indonesia selalu memperingati Hari Pendidikan, tidak lupa juga mengirimkan kritikan atau cercaan kepada pemilik kebijakan, tapi hasilnya sama saja, tidak ada perubahan. Pemerintah seolah menutup mata dengan kritikan yang mereka dapat. Para pemilik kebijakan merasa sistemnya sudah benar. Benar-benar bobrok, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.

Lima hari sebelum diperingatinya Hari Pendidikan, Indonesia dinodai dengan berita duka. Meninggalnya mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Penerbangan (STIP), Marunda. Berita tersebut seolah menggambarkan buruknya sistem pendidikan negara kita. Apa yang salah dengan institusi tersebut? nampaknya mereka masih mengadopsi budaya senioritas, entah siapa yang memulai budaya tersebut masuk dalam dunia pendidikan. Pemilik kebijakan benar-benar menutup mata, padahal sudah banyak institusi pendidikan yang menelan korban jiwa, tapi pemerintah diam, terbungkam, atau membungkam diri? Tidak ada koreksi akan masalah ini.

Salah satu cita-cita Ki Hajar Dewantara adalah memajukan pendidikan di Indonesia, dengan jalan memanusiakan manusia. Tapi apa yang terjadi belakangan ini sungguh berbeda dengan apa yang beliau harapkan dahulu. Lembaga pendidikan justru tercoreng dengan tindakan-tindakan tercela. Siapa yang tidak mengenal kasus Jakarta International School (JIS), atau juga kasus yang menewaskan Siswa SDN 09 Kampung Makasar, Jakarta. Pelecehan atau kekerasan dalam dunia pendidikan seperti teleh mendarah daging, cita-cita Soewardi “memanusiakan manusia” telah kandas dihancurkan generasi barunya.



Pendidikan seharusnya menciptakan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi sesuai dengan cita-cita bapak pendidikan kita. Cita-cita yang telah diusung sejak lama tersebut, bahkan setiap tahun selalu diperingati, nampakya telah dilupakan oleh bangsanya sendiri. Pemilik kebijakan memiliki respon yang lambat, seharusnya cita-cita Soewardi sudah tercipta jika pemerintah memiliki mata, hati, dan pikiran lebih terbuka, dan melihat dengan sadar akan kondisi pendidikan di Indonesia. calon-calon terdidik seharusnya mendapatkan hak mereka akan pendidikan yang sebenarnya, dan pendidik harus menyediakan media pembelajaran yang pas, bukan hanya jadi pengajar, tapi jadilah pendidik yang mendidik.

Comments