Senja, Peralihan, Menuju Terang

Peralihan senja menuju petang
Oleh: Rochmat Mulyadi

Mentari sudah mulai tenggelam, tapi cahaya itu masih tetap bersinar, sinarnya semakin malam semakin terang, semakin benderang, dan semakin menerangi ruangan disekitarnya.  Namanya senja, tapi senja ini amatlah berbeda dari senja biasanya, suatu keadaan yang tidak bisa ditangkap hanya dengan penalaran tingkat rendah.  Sepoi angin turut memeriahkan kedatangannya, diiringi dengan hawa dingin yang menusuk kulit hingga menyentuh permukaan putihnya tulang bahkan terasa seperti menembus lebih dalam, semakin dalam, dalam… dalam… dan.. tidur! (alah gak nyambung).

Aroma tanah kadang terbawa ketika hembusan angin masuk ke dalam ruangan ini, kursi goyang bergerak dengan sendirinya, lukisan dinding berwajah manusia itu seperti melirik ke kiri dan ke kanan dengan tatapan tajam, sinis.  Di luar, burung mulai meninggalkan singgasananya, pulang dari peraduan kerasnya kehidupan bumi, dengan membawa santapannya, kembali berkumpul bersama sanak keluarga, menghidupi anak, menjaga, hingga menghasilkan generasi baru.  Pohon itu senantiasa setia menaungi kehidupan keluarga Aves.

Senja perlahan pergi seiring berjalannya waktu, mendekati waktu petang, manusia indah itu baru jua hadir.  Akhir senja mengiringi kedatangannya, perpindahan waktu itu membuat momen itu tampak klasik.  Kehadirannya benar melawan, menutup fungsi dari mentari.  Orang bilang jangan ditentang, takut berturut jalan tak berintis.  Manusia itu benar menyinari ruangan. Senja yang beralih ke petang hingga memasuki waktu malam tampak dihiraukan karena kehadirannya.  Dia cantik, dia manis, dia baik, dia cerdas, dia diselimuti penutup aurat itu, orang bilang tudung namanya, membuat semuanya tampak bersinar dan mengalahkan dari indahya mentari.


Peralihan momentum, klasik.  semakin jauh dari senja, manusia itu tetap, nyalar bersinar. Akhir senja, hembusan angin berkurang, nyiur mulai berhenti melambai, ah… momen peralihan ini sangat nyaman dinikmati.  

Comments