Gigih: Seorang bapak tampak semangat berjualan setumpuk surat kabar di atas lengannya
Foto: Rochmat Mulyadi
Pagi itu
samar-samar suara besi dan rantai terdengar tak beraturan. Sesekali burung ikut
memeriahkan dengan sedikit kicauan. Tak begitu ramai. Sembari mengintip layar
telepon pintar yang saya genggam, ternyata waktu masih menunjukan pukul 02.00
WIB.
Pengayuh
becak masih beroperasi, sebagian orang-orang masih terlelap pulas. Di pinggir
ruko, trotoar, bahkan pinggiran jalan yang menyisakan jarak kurang lebih 6
meter, tak luput dijadikan tempat bersantai bagi mereka. Begitu lelap walau
beralaskan kardus yang disusun memanjang mengikuti ukuran tubuh.
Sedikit
terharu ketika melihat orang-orang itu. Saya hanya bisa berpikir positif, bahwa
mereka adalah orang-orang yang tak sempat pulang karena pekerjaan yang padat.
Saat itu, saya memang sedang berada di kota pelajar, tepatnya di Terminal
Giwangan. Kota yang katanya kaya akan referensi pengetahuan (buku) dan ramai
kegiatan diskusi. Pastinya orang-orang tersebut tidak akan terlantar dengan
alasan bodoh.
Tepat pukul
03.15 WIB, saya berjalan menghampiri warung. Makanan dengan lauk pauk yang
beragam berjejer rapi, tak lupa aneka minuman kemasan digantung pada tali yang
dibentangkan di pinggir pintu. Namun si empunya warung masih tertidur dengan
nyenyaknya.
Saya sedikit
mengusik dengan suara kecil. Ia terbangun dengan perlahan. Menghampiri saya
dengan mata lebam sembari berkata “Monggo,
Mas.” Saya mengangguk sambil mempersiapkan tubuh ini untuk rebahan di kursi
panjang yang sudah tersedia di depan warung.
Mengingat
waktu masih terlalu pagi, mata pun mulai sayup-sayup akan tertutup, saya
paksakan untuk memesan kopi hitam dengan sedikit gula. Saya memang tidak
menyukai kopi. Tapi dengan sedikit manfaat kafein yang terkandung di dalamnya,
saya terpaksa meminum.
Saya mudah
gelisah. Saya tahu jika kopi pun bisa membuat peminumnya merasakan kegelisahan
apabila mengonsumsi secara berlebih. Namun dengan kondisi tubuh yang amat
lelah, kantuk yang sudah melanda, dan durasi berkunjung yang tidak lama, saya
harus mendapatkan efek kafein untuk dapat menikmati Kota Yogyakarta hingga
pukul 12.00 WIB.
Waktu terus
berjalan. Namun akan terasa panjang jika hanya menunggu transportasi di
terminal berjalan normal. Sesekali saya bertanya pada pemilik warung mengenai
angkutan umum di Kota Jogja. Berbagai
jenis angkutan lengkap dengan rute ia jelaskan. Ada satu angkutan umum yang
menarik, yakni Trans Jogja. Hanya dengan merogoh kocek Rp 3.000 saja, saya
sudah bisa keliling Jogja. “Tapi yo
jangan turun-turun, Mas. Itu buat sekali naik tok,” kata pemilik warung dengan tertawa.
Sesuai
informasi yang didapat, angkutan tersebut mulai beroperasi sejak pukul 04.30
WIB.
Tak sabar
menunggu waktu, sesekali saya mengintip layar gadget. Waktu menunjukan pukul 04.30 WIB. Sedikit sumringah, saya
bergegas menuju halte. Tak disangka, hari itu, Trans Jogja mulai beroperasi
pukul 10.00 WIB.
“Ini kenapa,
Mas. Kok loketnya tutup?” tanya saya.
“Iya, Mas,
hari ini, kan di sini (Jogja) sudah Idul
Adha, jadi mulainya nanti jam 10,” jawabnyaKala itu saya memang tidak melihat hari. Saya hanya berniat jalan-jalan dengan memperhatikan durasi. “Pokoknya dalam waktu dua hari, saya harus jalan-jalan dan bisa sampai Bekasi,” pikir saya saat itu.
Nasi sudah menjadi bubur. Yang harus saya lakukan adalah mengolah bubur tersebut menjadi olahan spesial. Sesuai kriteria, saya harus menambahkan bubur itu kuah kari dengan rasa yang kuat. Sate usus dan juga sate telur puyuh yang telah dilumuri bumbu rahasia juga harus saya sertakan. Tak lupa taburan bawang dan kacang kedelai lengkap dengan sambal super pedas.
Coklat panas dengan taburan biskuit cacah diatasnya, lalu dihiasi astor panjang berisi krim coklat tebal turut meramaikan hidangan bubur spesial tersebut.
Nampaknya, masih ada cara lain untuk menikmati Kota Jogjakarta.
Yogyakarta, 4 November 2014
Comments
Post a Comment