Rindu

Rindu
Gambar: Zombie Predator
(Devianart.com)

“Loh kamu suka? Aku cuma kuat minum green tea, pokoknya teh-tehan. Ginian saja kadang sakit kok.” Sepasang muda di samping meja kami terlihat amat mesra sembari saling suap. “Enggak pesan yang lain? Enggak usah sungkan-sungkan!”

“Kamu gak ada kegiatan hari ini? ih sausnya jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit loh,” wajahnya sudah melewati remaja, tapi percakapan mereka seperti terjebak dalam masa terbelakang. Tidak berwibawa. Tidak menandakan siap melangkah lebih jauh. Pendapat saya terlalu bodoh. “Saya bisa melakukannya lebih baik,” ucap saya dalam hati.

“Ini bukan murni pak, sebenarnya tidak terlalu suka dengan ginian. Saya banyak baca manfaatnya, jadi penasaran.”

Saya memesan coffee chocolate with huzel nut. Saya pikir ini pertama kalinya minum kopi di kedai dengan pilihan biji kopi yang beragam. Sekurangnya, terdapat lebih dari 20 toples dengan ragam kopi yang diletakkan depan  meja kasir. Toples disusun abstrak dan dikelompokkan menyilang mengikuti jenis ukuran, alasnya berupa papan bambu yang disusun vertikal, permukaannya dilapisi pernis: terlihat cantik dan mengkilat.

“Aku sekalinya minum kopi perut rasanya enggak enak. Jadi mending pesan teh, deh. Makanannya lah! Tenang, kamu enggak usah bayar.”

“Saya tadi udah makan pak, di Gunungsari, setelah liputan langsung mampir, lumayan murah soalnya, tahu lontong lima ribu, rujak empat ribu, tapi gorengannya mahal, satunya seribu.” Kemesraan mereka terlihat menjijikan, si pria dengan  bebas merangkul pundak sambil sesekali meraba bagian samping. Si perempuan terlihat pasrah dengan senyum kecil agak dipaksakan. Pengunjung memang masih sepi, dari delapan meja, hanya tiga meja yang sudah terisi.

Di kedai itu, Mr. Jos –Mantan pemimpin di tempat saya bekerja– mengajak saya membantunya mengerjakan proyek majalah milik lembaga pemerintahan salah satu kota di Jawa Timur. Ia bilang tidak terlalu padat waktu yang diluangkan, deadline yang panjang, cukup menjadi pernyataan persuasif dari ajakan tersebut.

“Hari ini saya niat ajukan resign pak, mau fokus sama tanggung jawab dulu, hehe.”

“Kok, lama sekali belum selesai-selesai, kamu sambi saja, waktu kamu yang tentuin dengan narasumber. Saya sudah buat daftarnya. Tinggal janjian saja. Kalau mau, kamu kebagian ngisi 10 halaman saja.”

Waktu seperti bergerak lebih cepat. Detak jam yang berada di bagian atas dinding meja kasir terdengar amat jelas. Dari meja kami berjarak sekira 7 meter. Entah kenapa, saya jadi semakin risih. Obrolan mereka semakin ke kanak-kanakan. Kalau tidak salah si pria sedang menggerutu kegiatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh si perempuan. “Kamu kenapa sih, susah banget nurut sama aku.”

“Oke pak, saya coba, lagipula, penelitian saya sudah selesai, tinggal menyusun teksnya saja.”

“Tidak usah dipaksakan. Kalau sudah longgar, nanti saya hubungi lagi, masih banyak proyek yang bisa kamu selesaikan.”

“Haha, iya pak, iya. Ini saya coba dulu pak, saya sudah susun timeline kegiatan saya setelah resign, biar enggak berantakan, nanti bisa saya masukkan proyek ini,” saya meresa terlalu cepat mengambil keputusan. “Ngomong-ngomong, bapak kenapa resign duluan?”

Mr. Jos seperti terdiam seketika. Kala ia keluar saat itu, media harian tempat saya bekerja jadi tidak pernah tepat deadline. Selalu kena tegur dari pusat. “Alah kalau itu ada masalah pribadi. Kita itu harus move on. Sekarang itu jamannya online,” katanya, seraya memberitahu jika ia saat ini menjadi pemimpin media online yang sedang berkembang.

“Saat ini aku lagi butuh orang untuk jadi kontributor. Penerimaannya memang masih belum terbuka, karena beberapa hari lalu kami baru adakan soft launching. Hanya beberapa media partner saja yang tau. Kalau ada teman yang bisa kamu rekomendasikan, jangan sungkan share informasinya,” jelas Mr. Jos.

Langit kian beralih menuju senja. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.23. Pasangan muda itu semakin mesra. Sementara pengunjung mulai berdatangan mengisi beberapa meja yang kosong. Paling banyak dari golongan pegawai yang menyempatkan waktunya bersantai sebelum terlelap di rumahnya masing-masing. Beberapa datang dengan pasangan, sisanya sekedar pelengkap canda tawa agar lebih cair.

“Kamu ngapain ngeliatin orang disamping, kaya intel saja. Kamu masih belum punya? Luangkan lah sekedar untuk cari. Masa seharian muter-muter Batu enggak ada yang nyantol. Tapi masih muda, kan, enak kamu, pelan-pelan saja.”

Jajaran kendaraan terlihat semakin padat. Petugas parkir semakin sibuk mengatur kendaraan masuk dan keluar. Mendekati petang, kami membubarkan diri. Mr. Jos bilang, jika masih ada yang harus ditanyakan bisa dilanjut melalui surel.

“Kamu sudah simpan nomorku kan. Tidak usah sungkan. Kali ini kita bukan atasan atau bawahan, tapi partner kerja. Hubungi saya jika ada yang ditanyakan.”

Hari ini terasa abu-abu. Terasa cepat, juga terasa lambat. Tiba-tiba saja, gawai disaku terasa bergetar. “Halo. Iya. Tumben telp. Baik. Kamu apa kabar?”

Apalah arti rindu, kedekatan kita seolah menjadi candu. Sedangkan keseharian kita semakin menjadi kaku, semakin malu-malu. Kenapa kamu tidak kunjung berlalu? Rupamu hanya membuatku tersaru pada tiap-tiap kegamangan citra wajahmu. Cepat pulanglah, sebelum saya berani mengantarmu pulang untuk lebih berjuang. Sebelum saya berani mengatakannya pada kedua orangtuamu.


Oleh: Rochmat Mulyadi

Comments