Like a pavo
Gambar: Mongkih (devianart.com)
Saya melihat ke arah jendela secara sembunyi. Sayu melangkah
tegas mengena ikat menutup mahkota. Seraya menapal buluh, bergegas menuju
teras, mengayun engsel memanggil keluh. Udeng itu tampak lusuh, corak sala
menanda seorang puan: kuat, teguh, tegas, lembut, berani. Saya mengayun engsel
pada lokasi serupa, hanya menyisa 2 meter.
“Pagi bu, tumben datang sepagi ini. Oh iya, maaf penuh karet
berserakan. Tadi malam tidak sempat beres-beres,” saya berujar menghindar
kemungkinan adanya serangan kata.
Saya mengira, Bu Ris –pemilik kosan– datang dengan raut
berbeda, walaupun sering berbincang dengannya, pada saat-saat tertentu,
seringkali tak cocok untuk diajak bercengkrama. Namun kali ini ia datang
berseri penuh semangat. Saya kira ia tidak akan menggerutu karena benda elastis
yang berserakan.
Saya kembali masuk ke dalam kamar, mengambil handuk yang
dibentangkan hampir menutup jendela. Saat menuju kamar mandi, ia memanggil. “Mat,
berangkat pagi? Sanas sudah mulai loh, dia sudah dibolehkan dosennya untuk
lanjut. Kalau tidak salah tetap di BMKG. Buat aplikasi atau apa gitu,”
ceritanya dengan senang. Saya mengangguk mengernyit dahi.
“Ayahnya selalu menasehati secara tegas, tapi lembut,
barangkali ocehan ayahnya sudah bisa nempel walaupun enggak langsung dipraktekkan.”
Seorang yang diterpa dengan disiplin tinggi, akan terus
mepertahanakan kedisiplinannya. Sang suami adalah prajurit angkatan laut. Semasa
hidup, ketiga anaknya sering dinasehati untuk tidak mebeda-bedakan kondisi
hidup. Harus bisa beradaptasi, harus bisa menguasai keadaan, bisa menguasai
banyak keahlian.
“Pernah waktu masih di Pondok Kelapa, ibu kan jualan ayam
potong, kalau anak-anak disuruh potong ayam ogah-ogahan, kadang suka
diceramahin sama ayahnya, katanya, kalau jadi anak itu jangan jijian, belum
tentu kemudian hari akan hidup lebih enak, agar bisa bertahan, harus kuasai
berbagai hal. Tapi ayahnya tidak pernah sambil marah, bilangnya lembut
pelan-pelan,” cerita Bu Ris.
Ketika suaminya meninggal, Bu Ris pindah ke kampung
halamannya, Malang, ia pun membuka usaha kos-kosan dan laundry kiloan, ketiga
anaknya tidak kompak datang membantu, karena mereka memiliki waktu sibuk yang
berbeda. Ketika ada waktu luang yang sama, Sanas, Raliz, dan Andip terlihat
bersama mengantar jemput pakaian pesanan pelanggan. Kadang bergotong memindah
pakaian kotor ke dalam mesin cuci.
Hari itu, Bu Ris banyak cerita tentang suaminya. Ia rindu
sosok yang menjaganya dan mengajarkan anak-anak prinsip kehidupan. Ia rindu
nasihat-nasihat yang dibumbui dalil-dalil naskah salah satu kitab samawi yang
dikuasai sang suami.
Saya berucap sedikit membantah. Mengatakan jika seseorang tidak
akan pernah bisa mengikuti prinsip seorang lainnya. Manusia lahir dengan
kemampuan sama. Prinsip akan hadir secara mandiri, berkembang, dan dijalani
dengan teguh. Jika menyimpang, maka itu adalah prinsipnya, toh benar salah
adalah tafsir hidup. Dan setiap manusia
memiliki hak untuk melakukannya. Yang salah adalah manusia tak berprinsip.
Orang-orang tak berprinsip memang tidak menarik untuk
dijadikan acuan, apalagi jika memimpin atau mengisi posisi tertentu dalam suatu
tatanan. Bahkan seorang Sjahrir dapat bertengkar dengan perempuan hanya karena
prinsip. “Persoalan sepele. Tapi bagiku sangat prinsipiil,” katanya yang kala
itu sedang bicara permasalahannya bersama Hatta.
Apapun yand dilakukan, semuanya kembali pada resiko yang
akan diterima. Seorang penulis asal Amerika, Erica Jong, juga pernah berujar, lebih
baik menghadapi resiko sebesar apapun, karena resiko yang tidak diambil adalah
sebesar-besarnya resiko yang lebih besar dari pada resiko yang ditolak. Masih takut
menjadi prinsipiil? Cemooh dari lingkungan adalah resiko paling dekat.
Bangun, berdiri, berangkat, sampai. Semudah itu
berpendirian. Berambisi lah, karena tidak ada yang salah dengan ambisi. Ambisius
mencari masalah lebih mengajarkan untuk berkembang ketimbang berambisi terus
menghindar dalam zona nyaman.
Tak terasa sudah 83 menit kami berbincang, pukul 06.00 saya
harus berangkat untuk menyelesaikan revisi naskah. Karena pukul 08.00 harus kembali
menghadap berkonsultasi lebih lanjut. “Kalau gitu saya mandi dulu deh bu, takut
kesiangan,” elak saya memotong pembicaraan. Sambil berlalu saya melihat sedikit
ke arah wajahnya.
Matanya hampir memerah, sedikit berkaca namun tidak sampai
berlinang. Hari itu ia hampir menjatuhkan mutiara, jika saja saya tidak
memotong, mungkin pembicaraan tentang kenangan akan semakin dalam. Saya bosan
mendengar prinsip, saya bosan melihat perempuan tua bersedih.
Karangploso, 5 Maret 2016.
Saya bosan dengan gorengan yang sudah dingin, karena saya haus maka saya tidak bosan untuk minum.
ReplyDeletekomennya yang serius napa, udah nulis cape cape wkwk
Delete